Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen, artinya tidak
boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil
sebaik mungkin.
Tujuan dari dibentuknya lembaga
tersebut adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah merajalela keseluruh
lapisanmasyarakat. Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat
signifikan dalam suatunegara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur
keberhasilan suatu pemerintahan.Salah satu unsur yang sangat penting dari
penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena
korupsi merupakan suatu penyakit dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
Lahirnya KPK didasarkan pada
perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar
biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat
daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak
mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi
sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari
deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya
indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.
Korupsi sudah sangat meluas
secara sistemik merasuk ke semua sektor
diberbagai tingkatan pusat dan daerah, disemua lembaga negara eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif. Oleh karenanya korupsi digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes)
Korupsi bukan lagi masalah
lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi semua
masyarakat dan ekonomi sehingga mendorong perlunya kerjasama internasional
dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Indeks presepsi korupsi
Indonesia menempati urutan ke 79 dari 90 negara yang di survey. Jika biaya
implisit korupsi di selamatkan sebanyak 20.000 triliun maka pendidikan di
Indonesia bisa di gratiskan. KPK hadir bukan sebagai kompetitor lembaga yang
sudah ada, tetapi hadir untuk membantu aparat penegak hukum dalam membersihkan
korupsi.
Sejarah lembaga anti korupsi
di indonesia sudah bermacam macam namanya sebelum adanya KPK, tetapi sejarah
membuktikan bahwa lembaga-lembaga anti korupsi sebelum KPK ini tidak berumur
panjang. Ini membuktikan bahwa dalam pemberantasan korupsi dibutuhkan lembaga
yang memiliki wewenang, independen, profesional dan bebas dari pengaruh
kekuasaan. Pada tahun 1995 indeks presepsi korupsi Indonesia adalah 1.95 dan
menuruti peringkat 41 dari 41 negara yang di survey. Pada tahun 1998 Indeks
presepsi Indonesia naik tipis ke 2.0 dan menempati peringkat 80 dari 85
negara.dan pada tahun 2016 Indeks presepsi kosupsi indonesia adalah 37 dan
menempati peringkat 97 dari 176 negara yang di survey. Ada peningkatan yang
cukup bagus dan membuktikan bahwa KPK telah melaksanakan tugasnya dengan baik,
dibuktikan dari meningkatnya indeks presepsi korupsi Indonesia. Dan dengan
adanya KPK masyarakat Indonesia bisa lebih yakin bahwa korupsi di Indonesia
bisa di berantas sampai tuntas.
Ranking of Happiness
2013-2015
|
Indeks Presepsi korupsi 2016
|
|
|
NO
|
NEGARA
|
RANK
|
RANK
|
|
1
|
Denmark
|
1
|
1(90)
|
|
2
|
Swiss
|
2
|
5(86)
|
|
3
|
Islandia
|
3
|
14(78)
|
|
4
|
Norwegia
|
4
|
6(85)
|
|
5
|
Finlandia
|
5
|
3(89)
|
|
6
|
Kanada
|
6
|
9(82)
|
|
7
|
Belanda
|
7
|
8(83)
|
|
8
|
New Zealand
|
8
|
1(90)
|
|
9
|
Australia
|
9
|
13(79)
|
|
10
|
Swedia
|
10
|
4(88)
|
|
11
|
Indonesia
|
79
|
90(37)
|
|
Komitmen pemberantasan korupsi
merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia,
hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa
komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak
pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas
kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk
kesejahteraan masyarakat.
Semuanya tergerus oleh perilaku
licik birokrat berkong kalingkong dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan
korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara
yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang
yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.
Komitmen kepemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan
mungkin lengkap dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan
bahwa dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini.
Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya,
Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa
dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba
meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya
sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin
pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan
memimpin.”
Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan
korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi
dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi
menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun
1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini
dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat
dan Angkatan Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah
menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi
secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini
malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan
puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV
yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan
rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan
wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah
membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku
dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih
begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah
dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal
mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan
lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal
menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
Orde baru bisa dibilang paling
banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun
sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat
korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3
tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan
pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua
delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut,
dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah
satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN
ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran
anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen
yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh
pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun
dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa
untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat
sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak
masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang
terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan korupsi :
- GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang
Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara;
- GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan
Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah
Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan
Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan
Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
- Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak
Pidana Korupsi;
- Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak
Para Pejabat dan PNS;
- Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi
Penertiban;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak
Pidana Suap.
Berganti rezim, berganti pula
harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde
Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada
tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan
Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara
dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan
langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya,
mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa
Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan
hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan
tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati
Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang
tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan
korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak
korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.
Di tengah kepercayaan masyarakat
yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi,
pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas
mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi
cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Perjalanan panjang memberantas
korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul sebuah lembaga negara
yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi.
Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda yang diamanatkan oleh
ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk
keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi.
Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab.
Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan peta
ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga,
kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga
disebabkan oleh persolan internal yang melanda sistem politik di Indonesia pada
era reformasi.
Di era Presiden SBY, visi
pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang dilakukannya dengan
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan
dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun
oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009.
Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono
diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor
30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari
pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang
saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional. Dalam
pemberantasan korupsi dibutuhkan lembaga yang memiliki wewenang, independen,
profesional dan bebas dari pengaruh kekuasaan.
Daftar Pustaka