Wednesday 27 June 2018

KPK, PERSPEKTIF INDONESIA MEMBERANTAS KORUPSI



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin.
Tujuan dari dibentuknya lembaga tersebut adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah merajalela keseluruh lapisanmasyarakat. Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatunegara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan.Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan suatu penyakit dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.
Lahirnya KPK didasarkan pada perkembangan pemikiran di dunia hukum bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Label demikian dianggap tepat untuk disematkan dalam konteks Indonesia, mengingat daya rusak praktek korupsi telah mencapai level tinggi. Maka, tidak mengherankan jika hingga hari ini Indonesia masih terjebak dalam suatu kondisi sosial ekonomi dan politik yang memprihatinkan. Indikasinya bisa dilihat dari deretan angka kemiskinan yang timbul, besarnya tingkat pengangguran, rendahnya indeks sumber daya manusia Indonesia, serta rendahnya kualitas demokrasi.
                  Korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor  diberbagai tingkatan pusat dan daerah, disemua lembaga negara eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Oleh karenanya korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes)
                  Korupsi bukan lagi masalah lokal, melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi semua masyarakat dan ekonomi sehingga mendorong perlunya kerjasama internasional dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi.
                  Indeks presepsi korupsi Indonesia menempati urutan ke 79 dari 90 negara yang di survey. Jika biaya implisit korupsi di selamatkan sebanyak 20.000 triliun maka pendidikan di Indonesia bisa di gratiskan. KPK hadir bukan sebagai kompetitor lembaga yang sudah ada, tetapi hadir untuk membantu aparat penegak hukum dalam membersihkan korupsi.
                  Sejarah lembaga anti korupsi di indonesia sudah bermacam macam namanya sebelum adanya KPK, tetapi sejarah membuktikan bahwa lembaga-lembaga anti korupsi sebelum KPK ini tidak berumur panjang. Ini membuktikan bahwa dalam pemberantasan korupsi dibutuhkan lembaga yang memiliki wewenang, independen, profesional dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Pada tahun 1995 indeks presepsi korupsi Indonesia adalah 1.95 dan menuruti peringkat 41 dari 41 negara yang di survey. Pada tahun 1998 Indeks presepsi Indonesia naik tipis ke 2.0 dan menempati peringkat 80 dari 85 negara.dan pada tahun 2016 Indeks presepsi kosupsi indonesia adalah 37 dan menempati peringkat 97 dari 176 negara yang di survey. Ada peningkatan yang cukup bagus dan membuktikan bahwa KPK telah melaksanakan tugasnya dengan baik, dibuktikan dari meningkatnya indeks presepsi korupsi Indonesia. Dan dengan adanya KPK masyarakat Indonesia bisa lebih yakin bahwa korupsi di Indonesia bisa di berantas sampai tuntas.
Ranking of Happiness
2013-2015
Indeks Presepsi korupsi 2016
NO
NEGARA
RANK
RANK
1
Denmark
1
1(90)
2
Swiss
2
5(86)
3
Islandia
3
14(78)
4
Norwegia
4
6(85)
5
Finlandia
5
3(89)
6
Kanada
6
9(82)
7
Belanda
7
8(83)
8
New Zealand
8
1(90)
9
Australia
9
13(79)
10
Swedia
10
4(88)
11
Indonesia
79
90(37)
Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.
Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkong kalingkong dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.
Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”
Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan korupsi :
  • GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara;
  • GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
  • Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
  • Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
  • Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda sistem politik di Indonesia pada era reformasi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional. Dalam pemberantasan korupsi dibutuhkan lembaga yang memiliki wewenang, independen, profesional dan bebas dari pengaruh kekuasaan.
Daftar Pustaka
2.       http://kpk.go.id



Tuesday 26 June 2018

Pilkada serentak, menentukan masa depan Indonesia

Perhelatan akbar yang terasa seperti hari raya. Hari ini tidak kurang dari 115 kabupaten, 39 kota di Indonesia merayakan pesta demokrasi, menentukan masa depan masing-masing daerah, berharap pemimpin yang mereka pilih adalah pilihan yang tepat. Dari sisi penyelenggara, beragam cara dilakukan seperti memakai baju adat bahkan sampai ada tps yang bertemakan piala dunia. Ini tak lain untuk menekan jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Pertanyaannya adalah mengapa kita harus menggunakan hak pilih? Bagaimana dengan golput saja?. Sadar atau tidak sadar, dengan kita tidak menggunakan hak pilih, maka secara tidak langsung kita menyerahkan masa depan kita kepada orang lain, bisa saja orang-orang yang fasik, orang munafik, orang yang asal-asalan memilih dan lain lain menentukan masa depan kita. Harga-harga kebutuhan pokok, kesehatan, keamanan adalah hasil dari kegiatan politik yang dimana para pemimpin yang kita pilihlah yang menjadi salah satu faktor untuk menentukan hal tersebut. Semoga saja dengan pilkada serentak kali ini bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mengutamakan kepentingan rakyat-rakyatnya. Mari sukseskan pilkada ini untuk Indonesia maju.